hikayat empat tetangga sekat

mtf_wzcsg_576

Namanya mbak Tiin, tiang-infus, saya belum sempat ngasih nama yang lebih urban dan fenomenal untuk benda yang setiap malam saya ajak ngobrol selama seminggu saya rawat inap di rumah sakit. Iya. Saya seputus asa itu ngajakin ngobrol tiang infus karena bentuknya mirip sekali dengan tiang infus atau bahkan mungkin sebenarnya dia memang tiang infus.

Tapi mbak Tiin sunguh pendengar yang baik meski dia tidak pernah menegur balik.

Saya dirawat di sebuah ruangan di lantai lima dengan satu bangsal berisi lima tempat tidur yang dibatasi kain tipis sebagai sekat. Kata pembesuk pembesuk (malam hari) yang saya sayangi, lift penumpang gemar mati di lantai tiga. Kadang jika “beruntung” lampu indikator “full” tiba tiba menyala di lantai tiga padahal lift hanya menampung dua ekor manusia saja.

Tapi saya tidak mau bercerita mengenai hal hal halus dari rumah sakit yang mengalami kebakaran di lantai tiga dan belum juga lantai itu dioperasikan hingga sekarang, saya ingin cerita bagaimana empat tetangga sekat saya sepanjang dirawat disana. Di lantai lima.

mtf_wzcsg_572

tetangga sekat pertama.

Tetangga pertama adalah yang pertama pulang ketika saya dalam proses rawat. Suaminya sedang bermasalah dengan jantung. Selama suaminya dirawat, istrinya baik sekali bahkan sangat ramah dengan tetangga sekat yang lain. Sembari beramah tamah, si ibuk berlihai pula meminjam charger, meminjam beberapa buah semacam pisang, meminjam beberapa cemilan, atau meminjam beberapa botol air mineral.

Iya. Semuanya dipinjam. “Pinjam dulu ya, dek”, senyumnya ramah.

tetangga sekat kedua.

Tetangga kedua sedang dalam diagnosa masalah pernafasan, posisi tempat tidurnya dibuat hingga si bapak duduk sepanjang saat, tirai sekat selalu dibuka. Karena posisi si bapak persis di depan pintu kamar mandi, sungguh bukan pemandangan yang anda harapkan dan menyehatkan ketika anda harus keluar kamar mandi (terlebih malam hari). Saya selalu kaget dengan pandangan si bapak yang dikaruniai bola mata besar dan tajam yang mengawasi. —-buru buru menunduk, malu diri bagai babi

tetangga sekat ketiga.

Tirai nya selalu tertutup, dengan suara si ibuk yang menunggu cukup meriah, entah si bapak sakit apa, tapi infusnya ditancapkan di bahu (?). Si ibuk yang menjaga si bapak ini tak lupa membawa perlengkapan berkemah dengan sangat lengkap. Tak cuma itu, rantang dengan berbagai ukuran juga ada. Adalah hal lazim segala peralatan dan berbagai cucian tiba tiba memenuhi kamar mandi setiap pagi.

Masih belum cukup meriah? Tak lupa si ibu membawa tape-radio bersuara mono dengan alunan campursari setiap hari, kadang terdendang syair syair menyayat dari suara Ebiet G. Ade merdu. Memekikkan bahwa… “kita mesti telanjang, dan benar benar bersih”

tetangga sekat keempat.

Adalah tetangga samping kasur saya. Si Bapak harus cuci darah karena gagal ginjal. Sayangnya si bapak ini senang sekali bersuara keras sekaligus mengeja beberapa nama penghuni kebun binatang dan marah marah pada istri yang menjaganya. Segalanya terasa tidak benar. Kurang ini kurang itu.

Tapi di setiap malam ketika si bapak selesai mengeluarkan nada nada yang tak menyenangkan itu (sepertinya si Bapak sudah tertidur), si ibu membacakan doa doa yang bisa anda dengar disampingnya dengan suara sendu. Kadang terisak sembari si ibu bilang “lekas sembuh ya, pak, ibu sayang bapak….”.

Kemudian saya menyadari penyakit saya bukan apa apa. Saya harus lebih banyak bersyukur dan berdoa semoga dosa dosa saya digugurkan bersama penyakit yang saya bawa.

Kepada mbak Tiin kemudian saat larut saya mulai bercerita keluhan keluhan saya.

Ketika dokter memperbolehkan untuk rawat jalan dan tak perlu lagi menginap, saya peluk mbak Tiin dengan erat. Terima kasih banyak sudah menjaga saya selama ini Tiin. Baik baiklah dengan pasanganmu yang baru. Jaga dia. Dan jangan lupakan kisah kisah malam kita.

mtf_wzcsg_584

I love you, Tiin.

Always.

A Lot.

Okit Jr.

10 thoughts on “hikayat empat tetangga sekat

Tinggalkan komentar